Apa nama Sistem Perekonomian di
Indonesia
A. Pendahuluan.
Pola dan proses
dinamika pembangunan ekonomi dipengaruhi oleh:
a) Faktor
Internal: kondisi fisik (iklim), lokasi geografis, jumlah dan kualitas
sumber daya alam, sumber daya manusia, kondisi awal ekonomi, sosial dan budaya,
system politik, dan peran pemerintah dalam pembangunan
b) Faktor
eksternal: perkembangan teknologi, kondisi perekonomian dan politik dunia,
dan keamanan global
Mengapa Malaysia,
Hongkong, India dan Singapora yang dijajah oleh Inggris mengalami pembangunan
yang lebih maju di bandingkan dengan Indonesia yang dijajah oleh Belanda?.
Keberhasilan pembangunan ekonomi tidak ditentukan oleh siapa penjajahnya, tapi
ditentukan oleh:
a)
Orientasi politik
b) Sistem
ekonomi
c)
Kebijakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi setelah pemerintahan penjajah
b. ANALISA SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA
Indonesia
terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik
dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar
benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan
Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia,
melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai
juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan
Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan
Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi).
Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur
mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam
perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan
internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman
keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai
upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka
justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu,
namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam,
misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih
terbatas, karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan
Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus
diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan
ramainya pelabuhan.Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan
di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu
bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga
lah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia
secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam
perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini.
Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian
Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde
lama, orde baru, dan masa reformasi.
SEBELUM
KEMERDEKAAN
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam
beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu
Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang
mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang
kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem
yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian
Indonesia, rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi beberapa
periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka berlakukan di
Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu).
ÿVereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC)
Belanda yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan
kukunya di Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia
Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang
didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang
Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC
(Inggris).
Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang
antara lain meliputi :
1. a.Hak mencetak uang
2. b.Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
3. c.Hak menyatakan perang dan damai
4. d.Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
5. e.Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda.
Namun walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah
dikuasai VOC.
Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor
sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan
jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas
komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup
penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte
leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak
hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga
menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya
pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran
Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi
peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang
memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri
Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda.
Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman
kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300
metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton.
Namun, berlawanan dengan kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor
logam mulia, Belanda justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar
dengan hasil bumi. Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat
ditawarkan sebagai komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan.
Perak tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca
pembayaran sampai tahun 1870-an.
Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan
Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain
disebabkan oleh :
a.Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar,
terutama perang Diponegoro.
b.Penggunaan tentara sewaan membutuhkan biaya besar.
c.Korupsi yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
d.Pembagian dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche
Republiek).
Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain
karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh
Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat
ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat
oleh blokade Inggris di Eropa.
Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di
Hindia Belanda.
Pendudukan Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad
diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini
sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan
berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk
pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang
diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan
tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah
pemasaran produk dari negara penjajah. Sesuai dengan teori-teori mazhab klasik
yang saat itu sedang berkembang di Eropa, antara lain :
a.Pendapat Adam Smith bahwa tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang
menghasilkan benda konkrit dan dapat dinilai pasar, sedang tenaga kerja tidak
produktif menghasilkan jasa dimana tidak menunjang pencapaian pertumbuhan
ekonomi. Dalam hal ini, Inggris menginginkan tanah jajahannya juga meningkat
kemakmurannya, agar bisa membeli produk-produk yang di Inggris dan India sudah
surplus (melebihi permintaan).
b.Pendapat Adam Smith bahwa salah satu peranan ekspor adalah memperluas pasar
bagi produk yang dihasilkan (oleh Inggris) dan peranan penduduk dalam menyerap
hasil produksi.
c.The quantity theory of money bahwa kenaikan maupun penurunan tingkat harga
dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.
Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit
dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang Cuma
seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
a.Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang,
apalagi untuk menghitung luas tanah yang kena pajak.
b.Pegawai pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
c.Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris
tak mau mengakui suksesi jabatan secara turun-temurun.
Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas
inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi
yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan
pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila,
tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan
penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan
dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini,
seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan
berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan
uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas
ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar
dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel melibatkan
para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan
politik Mataram–yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan
tidak mendapat imbalan–dan memotivasi para pejabat Belanda dengan
cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang
masuk gudang).
Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan
darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi
positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas
ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi
uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah
Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang
mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat
pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk
yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan
teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari
keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima
sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian
lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat,
sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan
kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
ÿSistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib
warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda
untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang
baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk
jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak
boleh. Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik,
antara lain terlihat pada :
a.Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang
mengelola perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi
sebagai buruh penggarap tanah.
b.Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas
ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar
dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
c.Laissez faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta,
walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai
penjajah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang
pada umumnya tidak diperlakukan layak.
ÿ Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya
ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai
akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat.
Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan,
karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak
jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor
macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan
impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur
oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai
seusai memenangkan perang Pasifik.
II.ORDE LAMA
ÿ Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain
disebabkan oleh :
Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata
uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah
RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De
Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan
Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for
Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di
daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga
mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai
pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang
beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup
pintu perdagangan luar negri RI.
Kas negara kosong.
Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang
dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
Ø Program Pinjaman Nasional
dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP,
dilakukan pada bulan Juli 1946.
Ø Upaya menembus blokade dengan diplomasi
beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan
menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Ø Konferensi Ekonomi Februari 1946
dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi
masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi
makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
Ø Pembentukan Planning Board (Badan
Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Ø Rekonstruksi dan Rasionalisasi
Angkatan Perang (Rera) 1948 >>mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke
bidang-bidang produktif.
Ø Kasimo Plan yang intinya mengenai
usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis.
Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab
Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
ÿ Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai
teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal
pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha
nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk
kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950,
untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan
pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan
impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi
impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada
perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam
perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha
pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha
non-pribumi.
c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951
lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr
Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan
pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan
pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan
tersebut.
ÿMasa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan
sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem
etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan
akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan
ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang
diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi
Indonesia, antara lain :
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai
berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000
menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan
stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga
barang-baranga naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp
1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat
uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali
lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini
malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena
pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak
proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat
politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini
juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin
yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam
politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
III.ORDE BARU
Pada awal orde
baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama.
Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan
keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi
mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per
tahun.
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal
ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan
sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi
campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan
praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam
perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah
tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan
UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia.
Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin
dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian
pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan
generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan
dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara
periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka
kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi
pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang
meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk
menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan
menikah.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan
sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan
pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta
penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan
konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan
hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik,
ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh.
Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global,
Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara
drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai
kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.
IV.ORDE REFORMASI
Pemerintahan
presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan
presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk
menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi
yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi,
dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya
digantikan oleh presiden Megawati.
ÿ Masa kepemimpinan Megawati
Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan
penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan
Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp
116.3 triliun.
b)Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di
dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan
ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke
perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal
keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan
modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
ÿ Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi
BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi
oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi
sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua,
yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim
investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit
pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan
kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk
memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya
adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi
asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang
pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak
lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal,
antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat
kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector
riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi
pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja
Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu
sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain
pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif.
c. kedudukan hukum ekonomi islam di
indonesia
Seperti diketahui
bersama, sejak didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945 M/10 Ramadhan 1367 H,
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Undang-Undang Dasarnya
menyatakan diri sebagai negara hukum. Sebelum Undang-Undang Dasar 1945
dimandemen, pencantuman Indonesia sebagai negara hukum dijumpai dalam bagian
penjelasan yang menyatakan: “Indonesia, ialah negara yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat).” “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak
berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Setelah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamandemen, pernyataan Indonesia sebagai
negara hukum termaktub dalam BAB I Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan: “Negara
Indonesia adalah negara hukum.”
Permasalahannya sekarang, adakah yang dimaksud dengan kata “hukum” dalam
kalimat “Negara Indonesia adalah negara hukum,” itu termasuk di dalamnya hukum
tidak terulis ? Ilmu hukum memang mengajarkan kepada kita tentang keberadaan
hukum tidak tertulis di samping hukum tertulis. Tetapi dalam kenyataannya,
hukum modern dewasa ini tampak lebih mengacu atau bahkan lebih berpihak kepada
hukum terutulis (codified law) dibandingkan dengan sekedar pengakuan apalagi
keberpihakannya kepada praktek hukum tidak tertulis (uncodified law).
Mengingat
keberadaan hukum tertulis jauh lebih dominan dibandingkan dengan keberadaan
hukum tidak tertulis, maka pendapat yang memandang cukup pengamalan hukum Islam
dengan pendekatan kultural (tanpa harus dengan legal-formal), agaknya sudah
kurang relevan untuk dipertahankan. Sekurang-kurangnya dalam bidang-bidang
hukum tertentu semisal hukum ekonomi Islam yang tengah dibincangkan.
Pengamalan atau penerapan hukum Islam secara legal formal melalui legislasi
nasional dewasa ini tampak telah menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera
ditangani. Selain momentumnya yang benar-benar tepat karena kehadiran sistem
ekonomi Islam/Syariah dipandang sebagai salah satu solusi terbaik dalam menata
kembali ekonomi Indonesia yang carut-marut; juga mengingat arah perkembangan
hukum nasional Indonesia ke depan tampak lebih mengacu kepada hukum tertulis
atau lebih tepatnya lagi merujuk kepada peraturan perundang-undangan.
Senafas dengan beberapa pemikiran di atas, dapatlah dikemukakan bahwa kedudukan
dan peran hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin terasa penting manakala
dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional Indonesia yang disebut-sebut
berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dari kedudukan dan peran hukum
ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya sudut pandang
sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat, dan bahkan dari sisi
falsafah dan konstitusi negara sekalipun.
Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) dibentuk, bahkan jauh sebelum para penjajah mengangkangi wilayah
nusantara – apapun sebutan atau namanya ketika itu –, negeri ini telah dihuni
oleh penduduk yang jelas-jelas beragama, khususnya Islam yang kemudian keluar
sebagai mayoritas tunggal sampai kini. Sekurang-kurangnya di daerah-daerah
tertentu, hukum ekonomi Islam dalam konteksnya yang sangat luas pernah berlaku
dan paling tidak sebagian daripadanya masih tetap diberlakukan sampai sekarang
ini.
Sistem bagi hasil dalam bentuk paroan/memaro dan lain-lain dalam bidang
pertanian, peternakan dan sebagainya yang dikenal luas di sejumlah daerah
terutama di pulau Jawa, merupakan salah satu bukti konkret bagi keberlakuakn
atau diberlakukannya hukum ekonomi Islam di nusantara tempo dulu. Demikian pula
dengan simbol-simbol transaksi perdagangan di sejumlah pasar tradisional yang
terkesan kental dengan mazhab-mazhab fikih yang dikenal masyarakat.
Dari sisi komunitas yang mendiami NKRI, bagian terbesarnya adalah pemeluk agama
Islam. Atas dasar ini maka sungguh merupakan kewajaran bila hukum sebuah negara
dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut oleh bagian terbesar penduduknya.
Pemberlakuan hukum ekonomi Islam di Indonesia sama sekali tidak terkait dengan
apa yang lazim dikenal dengan sebutan “diktator mayoritas” dan atau “tirani
minoritas.” Alasannya, karena penerapan hukum ekonomi Islam tidak dilakukan
secara paksa apalagi dipaksakan. Sistem ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan
sebanding dan sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi
Konvensional.
Dari sudut pandang kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem ekonomi Islam di
Indonesia juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Terbukti dengan
keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga ekonomi lain
yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi Syariah. Atau, paling sedikit
berkenaan dengan hal-hal ekonomi dan keuangan tertentu, ada kemungkinan
bersinergi antara lembaga ekonomi/keuangan Konvensional dengan lembaga
ekonomi/keuangan Islam. Demikian juga dengan para pengguna jasa lembaga ekonmi
dan atau keuangan Islam. Teramat banyak untuk disebutkan satu persatu nama-nama
lembaga keuangan khususnya bank di samping lembaga-lembaga keuangan non bank
lainnya yang secara aktif dan terencana justru membuka atau mendirikan
lembaga-lembaga keuangan Syariah.
Di negara hukum Indonesia, kedudukan/posisi hukum ekonomi Islam sesungguhnya
sangatlah kuat sebagaimana kedudukan/posisi hukum Islam secara umum dan
keseluruhan. Demikian pula dengan signifikansi fungsi/peran hukum ekonomi Islam
yang bisa digunakan, terutama dalam upaya menopang, melengkapi dan mengisi
kekosongan hukum ekonomi sebagaimana urgensi peran dan fungsi hukum Islam
secara umum dan keseluruhan dalam meopang, melengkapi dan atau mengisi
kekosongan hukum nasional.
Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia, dewasa ini
sesngguhnya tidak lagi hanya sekedar karena tuntutan sejarah dan kependudukan
(karena mayoritas beragama Islam) seperti anggapan sebagian orang/pihak; akan
tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan kebutuhan masyarakat luas setelah
diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem ekonomi Syariah
dalam mengawal kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Kedudukan hukum ekonomi Islam/Syariah seperti dipaparkan sebelum ini, akan
semakin kuat manakala dihubungkan dengan falsafah dan konstitusi negara yaitu
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Singkatnya, sistem ekonomi Syariah sama sekali tidak bertentangan apalagi
melanggar Pancasila terutama “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,” juga sama sekali
tidak bertentangan apalagi melawan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
baik bagian Pembukaan (preambule) yang di dalamnya antara lain termaktub
kalimat: “… Dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia,” maupun dengan bagian isinya terutama yang tertera dalam BAB XI
(Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang mengatur
perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Indonesia.